Ketika Moral dan Etika Tak Lagi Ada


alt


—————————————————————————
Isi-Kosong Adi Pranajaya

MENJELANG final tunggal putra Tenis Meja dalam sebuah Porprov, seorang atlet yang mewakili kabupaten X menerima tawaran uang dengan nilai tertentu dari kabupaten lain agar dirinya mengalah. Dalam catatan prestasi kedua finalis, atlet dari kabupaten X tersebut diprediksi bisa mengungguli lawannya.

Selesai menerima tawaran tersebut, si atlet lalu mendatangi tim manajernya, menyampaikan penawaran yang disampaikan pihak lawan kepadanya. “Saya ditawarkan dengan nilai sekian dari tim lawan untuk mengalah. Anda berani bayar berapa saya untuk tetap saya menangkan final ini?”

Karena jawaban sang tim manajer diserahkan kepada diri si atlet, maka sudah bisa dipastikan si atlet memilih mengalah demi sejumlah uang sebagaimana yang dijanjikan. Dan, pada saat final berlangsung, hasilnya pun sudah bisa ditebak. Ya, medali emas yang seharusnya bisa menjadi miliki kabupaten X akhirnya diambi secara “memalukan” oleh kabupaten lain. Setelah itu atlet kabupaten X tadi berfoya-foya dengan uang yang sebenarnya tidak seberapa, yang diterima.

Peristiwa ini benar adanya dan belum lama terjadi. Sekali lagi, sungguh “memalukan”!

Tapi mungkin ada yang mengatakan bahwa hal seperti itu sudah biasa dan sebelumnya sering terjadi. Kalau memang demikian maka inilah permasalahan besar, secara nonteknis, yang menghambat lahirnya prestasi olahraga khususnya tenis meja kita. Permasalahan besar itu me-nyangkut moral dan etika.

Moral adalah ajaran baik dan buruk yang diterima umum menyangkut perbuatan, sikap, kewajiban dan lain sebagainya; termasuk juga didalamnya adalah akhlak, budipekerti, dan susila. Sedangkan etika, adalah ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, termasuk juga tentang hak-kewajiban; atau bisa juga merupakan kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.

Ketika moral dan etika tak lagi ada, maka jangan berharap akan muncul kebanggaan di mana hal itu sebenarnya adalah nilai yang tak akan terukur dengan berapapun banyak uang. Jangan juga berharap, secara teknis, suatu prestasi terhormat yang muncul dari persaingan yang dilakukan dengan fokus lewat kompetisi dengan tingkat kesetaraan yang sama. Apalagi kemudian, berharap akan adanya komitmen.

Bangsa besar adalah bangsa yang hidup dengan mengutamakan nilai; nilai yang dijadikan dasar untuk meraih kebanggaan; nilai yang tentunya juga didasarkan pada adanya moral, etika, dan termasuk juga disiplin yang tinggi.

Karenanya siapapun kita, penting untuk mengedepankan nilai sebagai salah satu bentuk komitmen dalam turut mendorong bangsa kita tercinta ini memiliki kebanggaan baik di mata warganya maupun warga bangsa lain. Hal itu dapat dimulai dari lingkungan terkecil di sekitar kita.

Atau setidak-tidaknya, sikap ini kita lakukan sebagai “warisan” bagi anak-cucu kita secara langsung, dengan tidak mengulangi lagi hal “memalukan” di atas! (*) Dari http://www.jurnaltenismeja.com

Leave a comment